WANITA SAKIT
Hari sudah semakin malam, silih berganti
wanita pelacuran keluar masuk pada ruang pemeriksaan. Mereka adalah pelacur
yang diringkus kepolisian yang selanjutnya akan dimintai keterangan. Kasus dan
alasan mereka semua sama hingga datanglah wanita ke dua puluh tujuh di mejaku
dan Anggi.
“Kenapa mbaknya melacurkan diri?” Ucapku.
Wanita tersebut tertunduk malu dan tak menatap
mataku. Aku rasakan usianya sekitar Tiga puluh tahunan. Tubuhnya seksi dengan
buah dadanya sedikit menonjol. Kulitnya putih rambutnya lurus berkilau, wangi
sekali.
Anggi di sebelahku pun ikut bingung mengapa
wanita di depanku tak menjawab. Segera ia tuliskan laporan berita tentang
psikis wanita di depanku ini. Sedang aku yang memeriksa tutur bahasanya belum
mendapat catatan sama sekali.
“Heh!” Gertakku.
Ia masih tetap diam, namun tangannya terangkat
diatas meja.
“KAMU ITU HARUS TAHU MAS, WANITA ITU NGGAK
BISA DIBENTAK BEGINI!!” Bruakk, Jawab wanita itu.
Busset dah, nih wanita galak sekali. Sambil terisak
tangis dia tersedu sedan. Mungkin saatnya bagiku menggunakan teori “politeness
strategy”.
“Em.. mbak, coba dijawab. Nanti kalau mbak
kooperatif dengan pemeriksaan kami mbak akan segera didata kok. Kami hanya
memeriksa psikis dan tekanan emosional anda saja, abis itu sudah. Mbaknya bisa
langsung istirahat sementara di ruang tahanan wanita.”
Wanita itu melihat mataku yang menurutku untuk
mengecek keseriusanku. Tak lama ia mulai berbicara padaku.
“Kamu itu harus tahu Mas, wanita kebanyakan
itu lemah. Termasuk juga aku. Aku itu sudah cari pekerjaan kesana kemari, tapi
nggak ada tempat untuk wanita berkerudung bekerja, dan tak ada pekerjaan bagi
wanita tanpa modal. Aku juga sudah berusaha mencari suami baru, tapi siapa yang
mau menikahi janda miskin? Janda itu kalau kesana dikit, kesini dikit, pasti banyak
omongan orang. Yang dibilang pelakor lah, ganjen sama hidung belang lah dan sebagainya. Aku tidak kuat dengan kondisi itu. Kalau sudah masnya berada di
posisi tersebut, masnya mau berbuat apa sebagai wanita? Hm? Kok diam? Siapa yang biayaain
hidup anak sekolah dan kebutuhan sehari-hari?” Matanya memerah sambil
menjelaskan.
Busset dah, lagi lagi masalah ekonomi seperti
kasus pelacuran sebelumnya. wanita ini rupanya memojokkanku. Tak ada kata keluar lagi dari mulutku selain
mencatat pernyataan wanita tersebut pada catatanku.
Ia menatap tajam ke arahku, aku pun segera
menguasai keadaan kembali. Dengan melontarkan pertanyaan yang sama seperti
sebelumnya, aku memperhalus bahasaku. Pertanyaan itu masih tentang suami,
keluarga, derita HIV, dan konsumsi narkoba.
Ia lantas mulai bercerita kembali sembari
tetesan air keluar dari matanya. Segeralah Anggi memberinya tissue.
“Ini semua berawal dari suamiku yang BRENGSEK.
Sudah berbulan-bulan mas aku dan anak tidak dinafkahi. Oleh karenanya aku
sangat malu bila ibuku yang membiayai sekolah dan hidup anakku. Sedang ibuku
dalam keadaan sakit-sakitan dan warung kelontongnya sepi pembeli. Disaat keaadaan
sulit itu juga suamiku mengaku padaku bahwa dia sudah menghamili anak orang
kaya diluar nikah. TIDAAAAK AHHHHH.” Suaranya nyaring sekali sambil menjambak
rambutnya.
Busset dah, brengsek bener suaminya. Wanita itu
membuat gaduh ruangan, segera kututup rapat pintunya. Kubiarkan ia menangis
sejenak sambil sedikit reda. Kulihat Anggi juga meneteskan air mata, namun ia
alihkan dengan sibuk mencatat. Masalah wanita pelacuran memang semua sama,
yakni ekonomi dan sakit hati.
Wanita itu kuketahui bernama Rona. Ia mengaku
sangat sedih melihat anak perempuannya tidak bisa membayar biaya sekolah dan
buku. Suaminya menceraikannya sepihak dan melarikan diri ke luar kota bersama
peremuan yang ia hamili.
Pada keterangan Rona, ia mengaku meminum pil
KB sebelum bekerja dan memakai kondom di setiap melayani tamunya. Tarif yang ia
terima pun bervariasi, mulai dari 200-300rb sekali kencan di kamar. Hal itu
tergantung dari keloyalan pelanggan. Satu hari ia bisa sampai mendapat lima tamu.
Menurutnya, ia hanya mencari jalan hidup untuk
menabung membuka usaha. Usaha yang akan ia rintis ialah membuka warung kopi
berkonsep Wifi. Namun ya apa mungkin membuka usaha dari hasil pelacuran. Aneh
aneh saja.
Kulihat pertengahan payudaranya penuh
keringat, memang udara ruangan sedikit panas. Namun pertanyaan masih
kulanjutkan mengenai narkoba. Menurutnya, pemakaian narkoba memang ada dari
beberapa temannya, namun ia tidak memakai dan tidak mau menceritakan siapa
temannya itu.
Aku rasa cukup jelas dari kasus wanita ke dua
puluh tujuh bernama Rona ini. Semua sudah jelas, maka kupersilahkan ia beristirahat
untuk mengikuti sidang tertutup tiga hari mendatang.
Aku hanya menjalankan tugasku mewawancara
psikis dan tekanan emosional. Temanku Anggi memang lulusan psikologi, namun ia tidak
sampai hati mendengar kisah wanita-wanita sakit ini. Kepolisian memilihnya sebagai
tim wawancara karna memang ia lulusan terbaik psikologi. Semoga Anggi dapat
memilih suami yang baik esok hari dan tak meniru jejak wanita-wanita sakit ini. ~MK.







0 comments:
Post a Comment